Beranda | Artikel
Pembatal-Pembatal Wudhu
Sabtu, 15 Mei 2004

KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

e. Pembatal-Pembatal Wudhu
1. Semua yang keluar dari dua jalan “qubul dan dubur (kemaluan dan anus)”. Baik air seni, kotoran (tinja), atau angin.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ الْغَائِطِ

“… atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus)…” [Al-Maa-idah: 6].

Al-Ghaa-ith Yaitu kiasan dari buang hajat.

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia berhadats hingga dia berwudhu”

Seorang laki-laki dari Hadhramaut berkata, “Apakah hadats itu, wahai Abu Hurairah?” Dia menjawab, “Kentut, baik yang bersuara ataupun tidak.” [1]

Keluarnya madzi dan mani juga membatalkan wudhu:

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma,, dia berkata, “Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani, maka ia mewajibkan mandi. Sedangkan wadi dan madzi, beliau berkata:

ِاغْسِلْ ذََكََرَكَ أَوْ مُذَاكِيْرَكَ وَ تَوَضَّأْ وُضُوْءَكَ لِلصَّلاَةِ.

‘Basuhlah alat kelamin atau kemaluanmu dan berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat’.”

2. Tidur nyenyak
Yaitu, tidur yang menghilangkan kesadaran. Baik dalam keadaan duduk di atas lantai ataupun tidak.

Dasarnya adalah hadits Shafwan bin ‘Assal Radhiyallahu anhu. Dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami jika kami dalam keadaan safar agar tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam. Kecuali dalam keadaan junub. Bahkan ketika buang hajat, kencing, dan tidur.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyamakan antara tidur, kencing, dan buang hajat. [2]

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ.

“Mata adalah wikaa’nya sah. Barangsiapa tertidur hendaklah berwudhu’.”[3]

Al-Wikaa,’ dengan wawu dikasrah, yaitu benang pengikat tempat air minum dari kulit.

As-Sah, dengan siin tidak bertitik yang difat-hah dan ha’ yang dikasrahkan serta tidak bertasydid, yaitu dubur.

Artinya, keadaan jaga adalah wikaa’-nya dubur. Yaitu, menjaga apa yang di dalamnya agar tidak keluar. Karena selama dia terjaga dia bisa merasakan apa yang keluar darinya. [4]

3. Hilangnya kesadaran karena mabuk atau sakit
Karena hilangnya kesadaran oleh sebab-sebab ini lebih parah daripada tidur.

4. Menyentuh kemaluan tanpa penghalang dengan syahwat. Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm :

مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

“Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudhu.” [5]

Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

هَلْ هُوَ إِلاَّ بِضْعَةٌ مِنْكَ.

“Ia tidak lebih dari salah satu anggota tubuhmu.” [6]

Ia adalah salah satu bagian tubuh Anda jika tidak disertai syahwat saat menyentuhnya. Karena dalam keadaan ini, dapat disamakan antara menyentuhkan satu bagian tubuh dengan bagian tubuh yang lain. Lain halnya jika menyentuhnya disertai syahwat. Maka dalam keadaan seperti itu tidak diserupakan antara menyentuh satu bagian tubuh dengan menyentuh bagian tubuh lain yang biasanya tidak disertai dengan syahwat. Ini adalah perkara yang jelas, sebagaimana Anda lihat. [7]

5. Makan daging unta
Berdasarkan hadits al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ اْلإِبِلِ، وَلاَ تَوَضَّؤُوْا مِنْ لُحُوْمِ الْغَنَمِ.

“Berwudhulah karena (makan) daging unta. Dan janganlah berwudhu karena (makan) daging kambing.” [8]

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging kambing?” Beliau menjawab, “Kalau kau suka berwudhulah. Jika tidak, maka janganlah berwudhu.” Dia berkata lagi: “Haruskah aku berwudhu karena (makan) daging unta?” Beliau menjawab: “Ya, berwudhulah karena (makan) daging unta.”[9]

f. Hal-hal yang mewajibkan wudhu (hal-hal yang diharamkan atas orang yang berhadats):
1. Shalat
Berdasarkan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerja-kan shalat, maka basuhlah mukamu…” [Al-Maa-idah: 6]

Dan sabda Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam :

“لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍِ.”

“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (wudhu)”.

2. Thawaf di Baitullah
Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ، إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَحَلَّ فِيْهِ الْكَلاَمَ.

“Thawaf di Baitullah adalah shalat. Hanya saja Allah menghalalkan bicara di dalamnya.” [10]

g. Hal-hal yang disunnahkan wudhu di dalamnya:
1. Berdzikir kepada Allah
Berdasarkan hadits al-Muhajir bin Qunfudz. Dia mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berwudhu. Beliau tidak menjawab salamnya hingga menuntaskan wudhunya. Beliau lalu menjawabnya dan berkata:

إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلاَّ أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ إِلاَّ عَلَى طَهَارَةٍ.

“Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk menjawabmu. Hanya saja aku tidak suka menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” [11]

2. Ketika hendak tidur
Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan al-Barra’ bin ‘Azib Radhiyallahu anhu. Dia mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah sebagaimana engkau berwudhu untuk shalat. Kemudian tidurlah di atas sisi kananmu, lalu ucapkan:

اَللّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، اَللّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ، وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ.

“Ya Allah, kuserahkan jiwaku pada-Mu, dan kuhadapkan wajahku pada-Mu. Kupasrahkan urusanku pada-Mu, dan ku-sandarkan punggungku pada-Mu, dengan harap dan cemas kapada-Mu. Tidak ada tempat bersandar dan berlindung dari-Mu kecuali kepada-Mu. Ya Allah, aku beriman kepada kitab-Mu yang Engkau turunkan. Dan Nabi-Mu yang Engkau utus.”

Jika engkau meninggal pada malam itu, maka engkau meninggal dalam keadaan fithrah. Jadikanlah ia akhir pembicaraanmu.”[12]

3. Junub
Disunnahkan ketika hendak makan, minum, tidur, atau mengulang jima’.

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam junub dan ingin makan, minum, atau tidur, beliau berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.” [13]

Dan dari ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan bagi orang yang sedang junub jika ingin makan, minum, atau tidur untuk berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.” [14]

Juga dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُوْدَ فَلْيَتَوَضَّأْ.

“Jika salah seorang di antara kalian telah mendatangi isterinya (berjima’) dan ingin mengulangi, maka hendaklah ia berwudhu.” [15]

4. Sebelum mandi, baik mandi wajib maupun sunnah
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya. Kemudian beliau kucurkan air dari tangan kanan ke tangan kirinya, lantas membasuh kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat.” [16]

5. Makan makanan yang tersentuh api
Berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَوَضَّؤُوْا مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ.

“Berwudhulah karena memakan makanan yang tersentuh api’.” [17]

Perintah ini mengandung makna sunnah. Berdasarkan hadits ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamri, dia berkata, “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengiris paha kambing. Beliau kemudian makan sebagian darinya lalu mengumandangkan seruan untuk shalat. Beliau berdiri dan meletakkan pisau lantas shalat dan tidak berwudhu.” [18]

6. Setiap shalat
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu pada tiap shalat. Ketika hari penaklukan (Makkah) beliau berwudhu dan mengusap sepatunya lalu melakukan semua shalat dengan satu wudhu.” ‘Umar berkata padanya, “Wahai Rasulullah, engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah engkau lakukan.” Beliau berkata, “Aku sengaja melakukannya, hai ‘Umar.” [19]

7. Tiap kali berhadats
Berdasarkan hadits Buraidah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu pagi hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Bilal dan berkata, ‘Wahai Bilal, dengan apa engkau mendahuluiku ke Surga? Kemarin malam aku masuk Surga dan kudengar suara gerakanmu di depanku’. Bilal berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku adzan kecuali aku shalat dua raka’at. Tidaklah aku berhadats melainkan aku berwudhu saat itu juga.’ Rasulullah j berkata, ‘Karena inilah’.”[20]

8. Muntah
Berdasarkan hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Darda’, dia menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, kemudian berbuka dan berwudhu. Lalu kutemui Tsauban di masjid Damaskus dan kuceritakan hal ini kepadanya. Dia lalu berkata, “Benar. Akulah yang menuangkan air wudhu beliau’.” [21]

9. Membawa mayit
berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ غَسَّلَ مَيْتاً فَلْيَغْتَسِلْ، وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ.

“Barangsiapa memandikan mayat, maka hendaklah ia mandi. Dan barangsiapa membawanya, maka hendaklah berwudhu.” [22]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/234 no. 135)], al-Baihaqi (I/117), Ahmad (al-Fat-hur Rabbanii) (II/75 no. 352), lafazh hadits pada perawi lain tanpa tambahan, Shahiih Muslim (I/204 no. 225), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/87 no. 60), dan Sunan at-Tirmidzi (I/150 no. 76).
[2]. Hasan: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 123)], Sunan at-Tirmidzi (I/65 no. 69), dan Sunan an-Nasa-i (I/84).
[3]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 386)], Sunan Ibni Majah (I/161 no. 477), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/347 no. 200) dengan lafazh serupa.
[4]. Nailuul Authaar (I/242).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 388)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/307 no. 179), Sunan Ibni Majah (I/161 no. 479), Sunan an-Nasa-i (I/100), dan Sunan at-Tirmidzi (I/55 no. 82), dengan tambahan: “فَلاَ يُصَلِّ (maka janganlah ia shalat…)”
[6]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 392)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/312 no. 180), Sunan Ibni Majah (I/163 no. 483), Sunan an-Nasa-i (I/101), dan Sunan at-Tirmidzi (I/56 no. 85)
[7]. Tamaamul Minnah (103).
[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 401)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/315 no. 182), Sunan at-Tirmidzi (I/54 no. 81), dan Sunan Ibni Majah (I/166 no. 494), secara ringkas.
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 146)] dan Shahiih Muslim (I/275 no. 360).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3954)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 217 no. 967).
[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 280)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/34 no. 17), Sunan Ibni Majah (I/126 no. 350), dan Sunan an-Nasa-i (I/37), dengan riwayat yang tidak marfu’.
[12]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/109 no. 6311)] dan Shahiih Muslim (IV/2081 no. 2710).
[13]. Shahih: [Mukhtasahar Shahiih Muslim (no. 162)], Shahiih Muslim (I/248 no. 305 (22)), Sunan an-Nasa-i (I/138), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/374 no. 221).
[14]. Shahih: [Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/375 no. 222).
[15]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 263)], Shahiih Muslim (I/249 no. 308), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/371 no. 217), Sunan at-Tirmidzi (I/94 no. 141), Sunan an-Nasa-i (I/142), dan Sunan Ibni Majah (I/193 no. 587).
[16]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 155)] dan Shahiih Muslim (I/253 no. 316).
[17]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 147)], Shahiih Muslim (I/272 no. 352), Sunan an-Nasa-i (I/105).
[18]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 148)], Shahiih Muslim (I/274 no. 355 (93)), ini adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/311 no. 208).
[19]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 142)], Shahiih Muslim (I/232 no. 277), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/292 no. 171), Sunan at-Tirmidzi (I/42 no. 61), dan Sunan an-Nasa-i (I/86).
[20]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 7894)] dan Sunan at-Tirmidzi (V/ 282 no. 3772).
[21]. Sanadnya Shahih: [Tamaamul Minnah, hal. 111], Sunan at-Tirmidzi (I/58 no. 87), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VII/8 no. 2364), tanpa lafazh: “فَتَوَضَّأْ (maka berwudhulah).”
[22]. Shahih: [Ahkaamul Janaa-iz (hal. 53)], Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (II/145 no. 486), Shahiih Ibni Hibban (191/751), al-Baihaqi (I/300), dan Sunan at-Tirmidzi (II/231 no. 998), dengan maknanya.
Secara sepintas, perintah tersebut mengandung arti wajib. Hanya saja, kita tidak mengatakannya demikian karena adanya hadits Ibnu ‘Abbas, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian memandikan mayit kalian, maka tidak wajib bagi kalian untuk mandi. Karena mayit kalian tidaklah najis. Cukuplah kalian mem-basuh kedua tangan kalian.” Diriwayatkan dalam kitab Mustadrak al-Hakim (I/386), al-Baihaqi (III/398). Dinukil dengan pengubahan dari Ahkaamul Janaa-iz karya Syaikh al-Albani, hal. 53.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/725-pembatal-pembatal-wudhu.html